Perjalanan
di Makassar dilanjutkan dengan mengunjungi Benteng Fort Rotterdam yang berada
di daerah area Pantai Losari. Mengutip dari Wikipedia bahasa Indonesia yang
tercinta Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang)
adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini
berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng
ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9
yang bernama I manrigau Daeng
Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar
tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin
konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari
Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi
bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat
hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di
daratan maupun di lautan.
Nama
asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar
menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas
pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani
perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk
menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng
ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama
Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini
kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di
Indonesia bagian timur.
Di
kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya
terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan
daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung
benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.
Gue kesini sekitar jam 10an
pagi waktu setempat, udara di Makassar udah panas banget jam segitu, pengunjung
di Benteng udah lumayan rame, kebanyakan datang berkelompok gitu. Sebelumnya
gue baca di blog kalo masuk benteng ini gretong alias gratis, pas kesana
ngelewatin gerbang masuknya kita disuruh ngisi buku tamu, dari nama, alamat
sampai asal dari mana, trus yang jagain buku tamu ngomong minta sumbangan untuk
kebersihan dan pembangunan benteng, sempat membeku gitu sih dimintain uang
dengan judul ala2 begitu tapi gue berharapnya semua uang yang masuk ke kas
mereka setiap hari bener2 dipake buat benteng, gak buat rokok dan lain2.
Kesan pertama masuk kesini
rada serem, hehehehe….bangunannya masih Belanda banget. Jadi bentuknya square
gitu, bangunan yang kayak rumah2 orang jaman dulu, ada yang penjara juga,
kemudian ada museum yang namanya La Galigo membentuk persegi. Di tengah2 ada
lagi bangunan lebih tinggi dari bangunan sekelilingnya, terkunci ya! Gak bakal
bisa masuk. Ada gerbang buat ke sisi atas benteng ini, semuanya serba batu, berani jamin, 90% bangunan di Fort Rotterdam masih asli.
Di depan bangunan Fort
Rotterdam ada patung pahlawan nasional Indonesia yang terkenal sekali, Sang
Ayam Jantan dari Timur Sultan Hasanuddin sedang menunggang kuda. Ada juga
tulisan gede FORT ROTTERDAM, sayang udah penuh coretan tangan2 jahiliyah
manusia2 gak ngerti keindahan. Oh Indonesia ku~
Dari Fort Rotterdam kita ke arah
kiri menuju kawasan Somba Opu, nyari oleh2? Kumpulan toko2 emas? Minyak2 urut?
Disini sarangnya. Lokasinya kurang lebih kayak pasar baru di Jakarta, memanjang
lurus, sayang gak ada atapnya jadi jalan kakinya drama sekali, panas booooook. Mungkin
karena cuaca yang panas, kesannya jadi jauh, padahal kalo dibandingin waktu di
Korsel beberapa waktu lalu, jalan segini mah gak ada apa2nya.
Di daerah Somba opu, gue,
adek sama Ibu sempat beli beberapa titipan orang2 di Kalimantan, macam sirup
Markisa dan snack2 khas dari Makassar. Syukurnya kita berhenti di toko yang
pas, karena banyaknya toko oleh2 disana, milihnya harus hati2. Harga yang
diberi ke pembeli bisa beda2, ngeliyat 1 toko yang rame akhirnya kita masuk,
bener aja, kaos yang biasa dijadiin oleh2 aja harganya Rp. 38.000, kainnya bagus,
sablonnya oke, paling gak kalo gue bandingin dengan kaos yang pernah gue beli
di daerah monas Jakarta hehehehe. Gue juga beli sirup markisa 2 botol ukuran
sedang yang harganya kisaran 60.000-an, adek beli kopi asli toraja sama
cokelat, Ibu beli kupu2 untuk hiasan di dinding, 1 frame isinya bisa sampai 6 kupu2 harganya Rp.60.000, sorry yang ini namanya eksploitasi, apa daya, Ibu2 dikasih
tau juga gak mempan, kebelilah sampe 2 frame. Gue juga beli miniatur kapal
phinisi khas Makassar harganya cuma Rp. 15.000 dan uniknya lagi yang jualan
bukan orang Makassar hahahaha.
Dari toko oleh2, kami lurus
lagi, gak kerasa udah jam 1 lewat dikit, nyari makan siang. Tanya sama orang2
dimana kawasan kuliner yang terkenal itu, karena letaknya memang di depan
anjungan pantai losari, orang bilang lurus aja, oke tancap. Rekomendasi banyak
orang, alangkah afdolnya kalo ke Makassar dan makan siang di Rumah makan
Lae-lae. Finally, sampai di pertigaan yang lumayan gede, kita belok ke kiri
(masih jalan kaki lowh ya) karena kalo ke kanan kita bakal nangkring di pantai
losari. Ketemulah RM. Lae-lae yang terkenal itu, banyak mobil2 terparkir, pas
jam makan siang ternyata penuh sekali beibeeeh. Alurnya adalah, pertama cari
meja dulu deh biar kebagian, setelah itu baru ke meja depan, jangan semuanya
pergi, separuh jagain itu meja separuhnya pergi mesan, kalo gak itu meja bakal
diambil orang, waktu itu kami ber 3 mesan udang bakar, pepes telur ikan (gue
lupa nama ikannya apa), cumi2 bakar dan cah kangkung.
Sekitar 15 menit, jadilah
semua, yang sebelumnya datang adalah air kobokan, 3 jenis sambal yang semuanya
enak, sama minuman. Dari semua makanan yang dipesan gak ada yang gak enak, cumi
bakar tanpa bumbu pun enaknya masya Allah, kemudian pepes telur ikan,
sebenarnya gue rada gak tega karena lagi2 ini eksploitasi, tapi sumpah ini
enaknya sampe ke ubun2, berdoa nya semoga pas balik kesini lagi gue gak tergoda
beli itu telur ikan. Makan disini jangan banyak cincong ya, jangan lama2 karena
disini orang makannya ngantri. Sampai di kasir, Ibu bayarnya 300.000
dolar..toeeeng…gak ding, Rupiah dan menurut gue itu seharga dengan pelayanan
dan rasa yang mereka kasih ke kita. Gue rasa gak cuma di Makassar, masih banyak
daerah di Indonesia yang menipu masyarakatnya sendiri. Kalo kita ke daerah
tertentu dan kita ngomong pakai bahasa Indonesia fasih, alamat…..nasib loe buat
ditipu sama masyarakat sana bakal 100% terjadi, dan ini sering gue alami
kalo jalan2 ke daerah Indonesia tercinta ini. Di hari sebelumnya aja, gue sama
adek merelakan diri di tipu supir Taxi, dari TSM menuju pulang, harusnya kita cuma bayar taxi sekitar 23rbu, tapi
sepanjang jalan, supir ngajak kami ngobrol, gue jawabnya udah pake logat
Makassar banget apa daya adek gue yang mulutnya kaku sama bahasa daerah bikin
kita ketahuan kalo kita memang bukan masyarakat yang tinggal disana (karena
numpang lahir disana aja itu bukan cukup bukti), alhasil kita harus bayar
seharga 57 ribu, itu pun setelah gue tegur supirnya (dan harus pak logat sono),
itu baru satu kejadian, waktu dalam perjalanan kami ke Kota Makassar, sempat
singgah makan di salah satu Rumah makan di daerah Pare-pare, cuma makan udang 1 piring kecil, ikan bakar 2 potong dan ayam bakar, Ibu harus bayar 500rbu-an,
gilaaa….padahal kalo dibanding sama RM Lae2, gak ada apa2nya. Pelajaran aja
sih, lain kali kalo memang pada niat jalan2 keliling Indonesia, mending bawa
teman atau keluarga yang memang fasih banget sama seluk-beluk daerah yang kita
tuju, karena ini Indonesia!!

![]() |
Telur Ikan yang rasanya maknyyoooossss |
Selesai makan, maksud gue
kita langsung ke anjungan pantai Losari, karena menurut gue, tengah hari bolong
gitu adalah waktu yang tepat buat kesana, mumpung sepi. Gue niat banget motoin
huruf PANTAI LOSARI, BUGIS, dan MAKASSAR dalam keadaan utuh, bukan dengan
kerumunan orang disana-sini, maklum aja anjungan ini kalo udah sore bakal jadi
lautan manusia dan penjual. Pusat aktivitas orang di kota ini bakal pindah ke
pantai ini semua. Sayang Ibu sama adek udah lelah dan kekenyangan, akhirnya
pulanglah kami dan berencana balik sore hari.
Setelah shalat Ashar, sesuai
rencana kami semua balik ke pantai losari. Bener aja, manusia dan penjual udah
nangkring di sepanjang sisi anjungan. Pantainya memang lebih indah di sore
hari, matahari yang mau terbenam jelas terlihat di pantai ini, di sisi pantai
sudah dibangun tembok2 semacam turap sebagai pembatas, tapi ada juga yang masih
terbuka, yang ini buat mangkalnya kapal2 motor untuk wisatawan yang mau
berkunjung ke pulau2 kecil yang berada di tengah2 laut sono yang salah satunya
adalah pulau Samalona. Gue gak sempat kesana,
selain waktu yang terbatas, uang juga salah satu kendala. Nyebrang ke Pulau
Samalona harus pake speed boat dan tarifnya dari 300.000-500.000, masih gak kuat
gue kalo harga segitu huhuhuhuhu…Samalona, next time ya.
Lanjut ke pantai losari,
tujuan utama gue kesini sesungguhnya adalah pisang epe, makan pisang epe disini
katanya wajib. Penjual pisang epe disini ada bejibun, ada di sepanjang jalan
penghibur termasuk sampai di depan Fort Rotterdam. Pisang epe itu adalah pisang
yang dibakar (pisangnya masih dalam keadaan setengah mateng) di atas bara api
kemudian dipipihkan (epe : jepit) pake penjepit, kemudian dibakar lagi sedikit,
selanjutnya dikasih topping. Topping sendiri macam2, ada original, ada cokelat,
ada keju atau cokelat keju. Apa itu original? Topping original itu adalah gula
merah cair dengan khas aroma durian. Waktu itu gue beli yang original sama yang
keju, gak ada yang gak enak, semuanya enak dan bikin nagih, apalagi pisangnya
gurih karena memang masih setengah mateng kan ya. Harga nya kisaran
10.000-15.000 kayaknya tergantung toppingnya, 1 porsi ada yang ngejual 2-3 biji
pisang. Kuliner yang ini hukumnya wajib!!!! Heheheehehe~
![]() |
Pisang Epe |
Di Makassar gue akuin jagonya
masalah makanan enak, gue pribadi lebih suka jajanan nya, kayak Jalang kote, es
pallu butung, es pisang hijau, pisang epe, putu cangkir dsb. Kesemuanya gak ada
yang gak enak, bersyukur punya Ibu yang bisa banget bikin Jalang kote dan pallu
butung, meski merantau di Kalimantan kami sekeluarga masih bisa menikmati.
Sayang pisang epe favorit belum ada yang jual disini, sedang es pisang hijau,
disini udah bnyak banget tapi harganya yang 3x lipat dengan harga di Makassar.
Berakhir liburan di kota
kelahiran tercinta, masih banyak banget tempat yang belum didatangi, kendala
posisi mereka yang jauh2 dan harus berkendara 3 jam lebih menjadi perhitungan
tersendiri. Semoga umur panjang, murah rezeki, sehat wal afiat, gue bisa balik
lagi di kota Kece ini dan datangin tempat2 wisata macam Samalona dan
Bantimurung. Aamiiin~
berkaca-kaca liat makanannya T______T
BalasHapushahahaha...yok, kapan2 menjelajah negeri sendiri yooookkkk~ ^^
Hapusmakan-makan!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!1
BalasHapus