Selasa, 15 Desember 2015

Jalan - Jalan Ke Makassar (2-End) ~ Fort Rotterdam & Pantai Losari


Perjalanan di Makassar dilanjutkan dengan mengunjungi Benteng Fort Rotterdam yang berada di daerah area Pantai Losari. Mengutip dari Wikipedia bahasa Indonesia yang tercinta Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.
Gue kesini sekitar jam 10an pagi waktu setempat, udara di Makassar udah panas banget jam segitu, pengunjung di Benteng udah lumayan rame, kebanyakan datang berkelompok gitu. Sebelumnya gue baca di blog kalo masuk benteng ini gretong alias gratis, pas kesana ngelewatin gerbang masuknya kita disuruh ngisi buku tamu, dari nama, alamat sampai asal dari mana, trus yang jagain buku tamu ngomong minta sumbangan untuk kebersihan dan pembangunan benteng, sempat membeku gitu sih dimintain uang dengan judul ala2 begitu tapi gue berharapnya semua uang yang masuk ke kas mereka setiap hari bener2 dipake buat benteng, gak buat rokok dan lain2.
Kesan pertama masuk kesini rada serem, hehehehe….bangunannya masih Belanda banget. Jadi bentuknya square gitu, bangunan yang kayak rumah2 orang jaman dulu, ada yang penjara juga, kemudian ada museum yang namanya La Galigo membentuk persegi. Di tengah2 ada lagi bangunan lebih tinggi dari bangunan sekelilingnya, terkunci ya! Gak bakal bisa masuk. Ada gerbang buat ke sisi atas benteng ini, semuanya serba batu, berani jamin, 90% bangunan di Fort Rotterdam masih asli.














Di depan bangunan Fort Rotterdam ada patung pahlawan nasional Indonesia yang terkenal sekali, Sang Ayam Jantan dari Timur Sultan Hasanuddin sedang menunggang kuda. Ada juga tulisan gede FORT ROTTERDAM, sayang udah penuh coretan tangan2 jahiliyah manusia2 gak ngerti keindahan. Oh Indonesia ku~




Dari Fort Rotterdam kita ke arah kiri menuju kawasan Somba Opu, nyari oleh2? Kumpulan toko2 emas? Minyak2 urut? Disini sarangnya. Lokasinya kurang lebih kayak pasar baru di Jakarta, memanjang lurus, sayang gak ada atapnya jadi jalan kakinya drama sekali, panas booooook. Mungkin karena cuaca yang panas, kesannya jadi jauh, padahal kalo dibandingin waktu di Korsel beberapa waktu lalu, jalan segini mah gak ada apa2nya.
Di daerah Somba opu, gue, adek sama Ibu sempat beli beberapa titipan orang2 di Kalimantan, macam sirup Markisa dan snack2 khas dari Makassar. Syukurnya kita berhenti di toko yang pas, karena banyaknya toko oleh2 disana, milihnya harus hati2. Harga yang diberi ke pembeli bisa beda2, ngeliyat 1 toko yang rame akhirnya kita masuk, bener aja, kaos yang biasa dijadiin oleh2 aja harganya Rp. 38.000, kainnya bagus, sablonnya oke, paling gak kalo gue bandingin dengan kaos yang pernah gue beli di daerah monas Jakarta hehehehe. Gue juga beli sirup markisa 2 botol ukuran sedang yang harganya kisaran 60.000-an, adek beli kopi asli toraja sama cokelat, Ibu beli kupu2 untuk hiasan di dinding, 1 frame isinya bisa sampai 6 kupu2 harganya Rp.60.000, sorry yang ini namanya eksploitasi, apa daya, Ibu2 dikasih tau juga gak mempan, kebelilah sampe 2 frame. Gue juga beli miniatur kapal phinisi khas Makassar harganya cuma Rp. 15.000 dan uniknya lagi yang jualan bukan orang Makassar hahahaha.
Dari toko oleh2, kami lurus lagi, gak kerasa udah jam 1 lewat dikit, nyari makan siang. Tanya sama orang2 dimana kawasan kuliner yang terkenal itu, karena letaknya memang di depan anjungan pantai losari, orang bilang lurus aja, oke tancap. Rekomendasi banyak orang, alangkah afdolnya kalo ke Makassar dan makan siang di Rumah makan Lae-lae. Finally, sampai di pertigaan yang lumayan gede, kita belok ke kiri (masih jalan kaki lowh ya) karena kalo ke kanan kita bakal nangkring di pantai losari. Ketemulah RM. Lae-lae yang terkenal itu, banyak mobil2 terparkir, pas jam makan siang ternyata penuh sekali beibeeeh. Alurnya adalah, pertama cari meja dulu deh biar kebagian, setelah itu baru ke meja depan, jangan semuanya pergi, separuh jagain itu meja separuhnya pergi mesan, kalo gak itu meja bakal diambil orang, waktu itu kami ber 3 mesan udang bakar, pepes telur ikan (gue lupa nama ikannya apa), cumi2 bakar dan cah kangkung.
Sekitar 15 menit, jadilah semua, yang sebelumnya datang adalah air kobokan, 3 jenis sambal yang semuanya enak, sama minuman. Dari semua makanan yang dipesan gak ada yang gak enak, cumi bakar tanpa bumbu pun enaknya masya Allah, kemudian pepes telur ikan, sebenarnya gue rada gak tega karena lagi2 ini eksploitasi, tapi sumpah ini enaknya sampe ke ubun2, berdoa nya semoga pas balik kesini lagi gue gak tergoda beli itu telur ikan. Makan disini jangan banyak cincong ya, jangan lama2 karena disini orang makannya ngantri. Sampai di kasir, Ibu bayarnya 300.000 dolar..toeeeng…gak ding, Rupiah dan menurut gue itu seharga dengan pelayanan dan rasa yang mereka kasih ke kita. Gue rasa gak cuma di Makassar, masih banyak daerah di Indonesia yang menipu masyarakatnya sendiri. Kalo kita ke daerah tertentu dan kita ngomong pakai bahasa Indonesia fasih, alamat…..nasib loe buat ditipu sama masyarakat sana bakal 100%  terjadi, dan ini sering gue alami kalo jalan2 ke daerah Indonesia tercinta ini. Di hari sebelumnya aja, gue sama adek merelakan diri di tipu supir Taxi, dari TSM menuju pulang, harusnya  kita cuma bayar taxi sekitar 23rbu, tapi sepanjang jalan, supir ngajak kami ngobrol, gue jawabnya udah pake logat Makassar banget apa daya adek gue yang mulutnya kaku sama bahasa daerah bikin kita ketahuan kalo kita memang bukan masyarakat yang tinggal disana (karena numpang lahir disana aja itu bukan cukup bukti), alhasil kita harus bayar seharga 57 ribu, itu pun setelah gue tegur supirnya (dan harus pak logat sono), itu baru satu kejadian, waktu dalam perjalanan kami ke Kota Makassar, sempat singgah makan di salah satu Rumah makan di daerah Pare-pare, cuma makan udang 1 piring kecil, ikan bakar 2 potong dan ayam bakar, Ibu harus bayar 500rbu-an, gilaaa….padahal kalo dibanding sama RM Lae2, gak ada apa2nya. Pelajaran aja sih, lain kali kalo memang pada niat jalan2 keliling Indonesia, mending bawa teman atau keluarga yang memang fasih banget sama seluk-beluk daerah yang kita tuju, karena ini Indonesia!!




Telur Ikan yang rasanya maknyyoooossss

Selesai makan, maksud gue kita langsung ke anjungan pantai Losari, karena menurut gue, tengah hari bolong gitu adalah waktu yang tepat buat kesana, mumpung sepi. Gue niat banget motoin huruf PANTAI LOSARI, BUGIS, dan MAKASSAR dalam keadaan utuh, bukan dengan kerumunan orang disana-sini, maklum aja anjungan ini kalo udah sore bakal jadi lautan manusia dan penjual. Pusat aktivitas orang di kota ini bakal pindah ke pantai ini semua. Sayang Ibu sama adek udah lelah dan kekenyangan, akhirnya pulanglah kami dan berencana balik sore hari.
Setelah shalat Ashar, sesuai rencana kami semua balik ke pantai losari. Bener aja, manusia dan penjual udah nangkring di sepanjang sisi anjungan. Pantainya memang lebih indah di sore hari, matahari yang mau terbenam jelas terlihat di pantai ini, di sisi pantai sudah dibangun tembok2 semacam turap sebagai pembatas, tapi ada juga yang masih terbuka, yang ini buat mangkalnya kapal2 motor untuk wisatawan yang mau berkunjung ke pulau2 kecil yang berada di tengah2 laut sono yang salah satunya adalah pulau Samalona. Gue gak sempat  kesana, selain waktu yang terbatas, uang juga salah satu kendala. Nyebrang ke Pulau Samalona harus pake speed boat dan tarifnya dari 300.000-500.000, masih gak kuat gue kalo harga segitu huhuhuhuhu…Samalona, next time ya.
Lanjut ke pantai losari, tujuan utama gue kesini sesungguhnya adalah pisang epe, makan pisang epe disini katanya wajib. Penjual pisang epe disini ada bejibun, ada di sepanjang jalan penghibur termasuk sampai di depan Fort Rotterdam. Pisang epe itu adalah pisang yang dibakar (pisangnya masih dalam keadaan setengah mateng) di atas bara api kemudian dipipihkan (epe : jepit) pake penjepit, kemudian dibakar lagi sedikit, selanjutnya dikasih topping. Topping sendiri macam2, ada original, ada cokelat, ada keju atau cokelat keju. Apa itu original? Topping original itu adalah gula merah cair dengan khas aroma durian. Waktu itu gue beli yang original sama yang keju, gak ada yang gak enak, semuanya enak dan bikin nagih, apalagi pisangnya gurih karena memang masih setengah mateng kan ya. Harga nya kisaran 10.000-15.000 kayaknya tergantung toppingnya, 1 porsi ada yang ngejual 2-3 biji pisang. Kuliner yang ini hukumnya wajib!!!! Heheheehehe~





Pisang Epe 

Di Makassar gue akuin jagonya masalah makanan enak, gue pribadi lebih suka jajanan nya, kayak Jalang kote, es pallu butung, es pisang hijau, pisang epe, putu cangkir dsb. Kesemuanya gak ada yang gak enak, bersyukur punya Ibu yang bisa banget bikin Jalang kote dan pallu butung, meski merantau di Kalimantan kami sekeluarga masih bisa menikmati. Sayang pisang epe favorit belum ada yang jual disini, sedang es pisang hijau, disini udah bnyak banget tapi harganya yang 3x lipat dengan harga di Makassar.

Berakhir liburan di kota kelahiran tercinta, masih banyak banget tempat yang belum didatangi, kendala posisi mereka yang jauh2 dan harus berkendara 3 jam lebih menjadi perhitungan tersendiri. Semoga umur panjang, murah rezeki, sehat wal afiat, gue bisa balik lagi di kota Kece ini dan datangin tempat2 wisata macam Samalona dan Bantimurung. Aamiiin~ 

3 komentar:

  1. berkaca-kaca liat makanannya T______T

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha...yok, kapan2 menjelajah negeri sendiri yooookkkk~ ^^

      Hapus
  2. makan-makan!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!1

    BalasHapus

MALANG Gaiiisssss~_4 (END)

KAMPUNG JODIPAN / KAMPUNG WARNA WARNI Pagi terakhir di Malang, gue bangun dan Umi udah tergeletak di kasur di depan tv. Gue tanya Sri ...